
SAMPANG, Harnasnews – Putusan ringan terhadap dua terdakwa kasus korupsi Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD) di Desa Gunung Rancak, Kecamatan Robatal, Sampang, memicu kegaduhan publik. Muncul pula dugaan serius adanya praktik suap yang menyeret nama Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sampang, Fadilah.
Dua terdakwa, Kepala Desa Mohammad Juhar dan perangkat desa Sofrowi, dinyatakan terbukti merugikan keuangan negara sebesar Rp 260 juta. Namun, Majelis Hakim Tipikor Surabaya hanya menjatuhkan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider satu bulan kurungan. Vonis ini dinilai publik terlalu ringan dan tidak mencerminkan beratnya pelanggaran hukum.
Kecurigaan masyarakat makin mencuat setelah beredar informasi bahwa pihak terdakwa menyetor uang suap sebesar Rp 300 juta kepada oknum di lingkungan Kejaksaan Negeri Sampang untuk meringankan tuntutan dan vonis.
“Pihak Juhar katanya setor Rp 300 juta ke orang Kejaksaan. Mungkin juga ke Kasipidsus. Tujuannya biar tuntutannya ringan, dan ternyata divonis ringan juga,” ungkap seorang warga yang enggan disebut namanya, Rabu (18/06/2025).
Publik menilai vonis satu tahun penjara terhadap kasus korupsi ratusan juta rupiah sangat janggal. “Logikanya tidak masuk akal kalau tidak ada permainan di balik layar,” sambung sumber tersebut.
Ketika dikonfirmasi, Kajari Sampang Fadilah enggan memberikan keterangan substansial. Ia justru melemparkan tanggung jawab kepada lembaga peradilan. “Hehe, kalau soal vonis tanya hakim aja. Itu bukan kewenangan saya,” tulisnya singkat melalui WhatsApp, sebagaimana dikutip dari media Celurit.News.
Saat dihubungi media lain, Fadilah kembali menghindar. “Waalaikum salam. Biar satu pintu, Kasi Intel yang jawab ya. Silakan ke Kasi Intel,” katanya tanpa menjawab substansi tudingan.
Sikap tertutup Kajari tersebut justru memicu kecurigaan lebih dalam. Masyarakat mempertanyakan komitmen kejaksaan dalam menegakkan hukum secara adil dan transparan.
Padahal, kedua terdakwa dinyatakan melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Namun, hukuman yang dijatuhkan dinilai jauh dari rasa keadilan dan tidak mencerminkan efek jera.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Desakan publik pun menguat, meminta Komisi Kejaksaan dan aparat penegak hukum lainnya segera turun tangan menyelidiki dugaan praktik “jual beli perkara” yang berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial Didesak Segera Turun Tangan
Menanggapi adanya isu suap yang diduga menyeret sejumlah pejabat di lingkungan Kejaksaan Negeri Kabupaten Sampang, atas vonis ringan terhadap dua terdakwa kasus korupsi Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD) di Desa Gunung Rancak, Kecamatan Robatal, Sampang, Ketua Umum Pemuda Mandiri Peduli Rakyat (PMPR) Rohimat alias Joker mendesak Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial segera turun tangan.
“Jika kasus tersebut dibiarkan maka akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Meski ini baru sebatas dugaan, namun demikian guna menjawab asumsi publik di tengah gencarnya Kejaksaan Agung mengungkap kasus korupsi di Indonesia, maka Komjak dan KY harus turun tangan,” ujar Joker kepada Harnasnews, Kamis (19/6/2025).
Joker mengatakan, saat ini citra Kejaksaan di mata publik mengalami peningkatan yang signifikan. Hal itu menyusul dengan pengungkapan sejumlah kasus korupsi yang nilainya ratusan triliun.
“Artinya, persepsi publik terhadap Kejaksaan tengah naik. Jangan sampai kasus dugaan suap yang terjadi di Kabupaten Sampang itu menghancurkan nama institusi Kejaksaan,” katanya.
Joker mengaku bahwa PMPRI segera koordinasi dengan pihak Komjak RI dan KY dan meminta segera menindaklanjuti atas informasi yang berkembang di masyarakat. (Anam)