Anies dan Partai Politik

Bagi parpol-parpol nonseat atau baru dan mereka berbasis massa muslim, sungguh tepat jika berjuang bersama untuk antarkan seorag Anies. Tapi, bagi parpol-parpol nonmuslim pun karena pro keadilan, nasionalis sejati yang anti tergadainya sebuah negeri maka, sungguh tepat pula bersama Anies. Untuk bersama-sama menyelamatkan negara.

Yang menarik untuk kita analisis lebih jauh, kontestasi pilpres 2024 sangat memungkinkan terjadinya perubahan topografi politik keparpolan dan akhirnya peta politik nasional. Beberapa hal yang layak kita cermati. Pertama, terjadinya pergeseran dominasi politik, dari aroma “Merah” dan sekutunya ke warna lain. 

Dengan episentrum utama posisi kepresidenan yang religious-nasionalis akan mewarnai topografi kebijakan yang jauh dari aroma komunis dan sekuleris-liberal. Pengaruh kuat dari episentrum ini akan mewarnai tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang terjauh dari gonjang-ganjing politik adu domba, diskriminasi dan persekusi, fitnah dan sjumlah propaganda yang menghancurkan kohesivitas kebangsaan dan kedamaian, serta persatuan.

Kedua, daya magnet Anies akan mempegaruhi sentimen negatif parpol-parpol yang berseberangan dengan figuritas tokoh fenomenal Gubernur DKI Jakarta ini. Di satu sisi, publik tersedot konsentrasinya terhadap Anies dan sekaligus bereaksi negatif terhadap parpol-parpol rivalnya. Dan reaksi ini ditunjukkan pada kertas suara pemilihan anggota legislatif (pileg). Menjadi sangat kuat sikap politik masyarakat untuk TIDAK memilih parpol yang track recordnya negatif selama ini terhadap umat dan kepentingan nasional. Kekecawaan akan teringat kembali dan menunjukkan dendamnya dengan cara menolak keras untuk memberikan suaranya kepada partai anti wong cilik ini. 

Hal itu sebagai sisi lain akan berdampak redukif bagi parpol-parpol rivalis Anies. Karena itu secara prediktif parlemen di Senayan tak akan lagi didominasi parpol-parpol Merah atau Kuning jika dalam pilpres 2024 berseberangan dengan Anies.  Karenanya, tidaklah belebihan jika muncul opini, kehadiran Anies dalam kontestasi kepresidenan merupakan blessing in disguise untuk bangsa ini. Akan terjadi aroma baru perpolitikan nasional yang sarat dengan spirit keadilan, bukan kelompokisme yang disetir kaum oligarkis. 

Bagaimana sikap kalangan oligarkis? Ada dua sikap. Pertama, lawan Anies dengan cara apapun. Inilah yang dapat kita baca narasinya selama ini. Di mana tempat  melalui parpol tertentu atau para buzzerRp narasi anti Anies selalu berkumandang. Di sisi lain, mereka terus melakukan sejumlah rekayasa politik, meski keluar dari landasan konstitusi. Gambaran nyata dari manuver mereka, di antaranya, gerakan sistimatis dan terencana masa jabatan yang diperpanjang (tiga periode atau perpanjangan tiga tahun dalam periode kedua) dan penundaan pemilu.

Yang kedua, kaum oligarki main dua kaki. Melalui sejumlah koleganya dari anasir oligarkis, mereka merapat ke Anies. Pertimbangannya simpel. Aksi dan partisipasi politik mereka sejatutinya satu: mempertahankan kerajaan ekonominya. Bukan politik untuk kekuasaan semata. Tapi memang, tak bisa dipungkiri, manakala kekuasaan berhasil direngkuh secara totalitas, maka buhkan hanya hegemoni ekonomi, tapi juga ideology yang mengarah pada penguatan komunisme. Inilah perbedaan mendasar oligarki bertrah China dibanding hegenomi Barat atau Timur Raya (Jepang dan Korea Selatan).

The last but not least, Anies memang leading, prospektif untuk melangkah ke RI-1. Tapi, bukan berarti ringan tantangannya. Dalam perspektif keagamaan, Anies akan berhadapan dengan kekuatan raksasa berbasis Iblis. Makhluk terkutuk ini tak akan pernah henti menggangu agar kekuatan shalihin (orang-orang soleh) tidak boleh memimpin sebuah negara dan bangsa. Para penganut Iblis dan syayathin – dalam perspektif keagamaan  adalah semua umat manusia yang anti keadilan, anti kebenaran dan anti nilai-nilai ilahiyah dan nubuwwah.

Sikap dan pendirian politik kaum pengkhianat bangsa secara sosiologis dapat dibaca pada panorama perilaku kedzaliman. Panorama ini menampak pada praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, perusakan lingkungan, pemecahan hubungan umat manusia. Karena itu, para pihak yang selama ini ada dalam lingkaran perkorupsian, mereka tak akan enjoy dengan kehadiran Anies dalam panggung kekuasaan. Sikap anti Anies juga akan menampak pada para pihak yang secara prediktif akan teramputasi fasilitasnya karena tak bisa lagi menyalahgunakan kekuasaan. Implementasi prinsip good governance akan menjadi momok bagi mereka yang selama ini sudah menikmati manisnya fasilitas negara.

Sisi lain, para eksploitator-eksplorator kekayaan alam yang selama ini begitu terlindungi kiprahnya pun akan terancam dengan hadirnya seorang Anies pada puncuk pemerintahan. Karena itu, mereka yang sebenarnya hanya sekitar 1% tapi menguasai 72% kekayaan negara berpikir keras bagaimana harus menghadang Anies. Dan satu lagi, para profesional pengadu domba, pemfitnah sudah dibayang-bayangi tak mengalir lagi aliran dananya karena pekerjaannya sebagai buzzerRp atau surveyor pesanan tak dibutuhkan lagi.

Sekali lagi, kelompok penghamba nafsu duniawi dan kekuasaan tersebut takakan henti untuk terus berusaha menjegal Anies sampai titik darah penghabisan. Baginya hanya satu prinsip: hanya ada satu kehidupan. Ya, di dunia ini. Karenanya, apapun caranya, tak pandang akibat, mereka terus lakukan: hajar bleehhhh. Memang tak bermoral. Dan mereka memang tak lagi kenal moralitas.

Penulis: Direktur Analisis Center for Public Policy Studies (CPPS) Indonesia.

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.