Kebijakan  Spektakuler, Anies Gratiskan PBB Ber-NJOP di Bawah Rp 2 Miliar

Filosofi kemanusiaan yang tertuang dalam konstitusi jauh lebih asasi dan powerful dibanding filosofi UU Pajak Bumi dan Bangunan. Ditinjau dari sisi hirarki perundang-undangan, jelaslah UUD 1945 lebih tinggi. Dalam hal ini, penggratisan PBB yang ber-NJOP di bawah Rp 2 miliar merupakan jabaran konkret dari amanat Pasal 28 dan 34 UUD 1945. Meski hanya sebagian fakir-miskin dari pembayar PBB ber-NJOP di bawah Rp 2 miliar, namun realitas kaum dlu`afa itu ada di dalamnya. Dan realitas ini tidak boleh diabaikan. Atas nama keadilan dan kemanusiaan, mereka berhak mendapatkan perlindungan dan perhatian khusus. Dan Anies berhasil mengartikulasikan rasa kepedulian itu secara formal.

Sebenarnya bukan hanya kali ini seorang Anies menunjukkan kepedulian kemanusiaan itu. Jauh sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta menunjukkan empatinya kepada keluarga para pahlawan. Di antara mereka yang tinggal di daerah Menteng pada zaman 1960-an, kini daerah itu menjadi daerah elit. Konsekeunsinnya, PBBnya tergolong tinggi: ada yang mencapai kisaran Rp 120 juta bahkan lebih. Mereka menjerit. Tak mampu bayar. 

Atas nama kemanusiaan dan rasa hormat atas jasa pahlawan, Anies membebaskan PBB itu. Inilah keberpihakan nyata. Negara berkapasitas sebagai Pemprov dituntut hadir. Untuk memberikan perlindungan, di samping rasa nyaman dan damai bagi warganya. Inilah perilaku kekuasaan yang menimbulkan reaksi positif (kegembiran) atas terbitnya Pergub No. 23 Tahun 2022. Sebuah kebijakan kebijakan yang cukup spektakuler.

Akhirnya, kita perlu merenung, yang dilakukan Anies sejatinya merupakan cara transaksi duniawi yang berdimensi ilahiah. Dalam perspektif duniawi, penggratisan PBB tersebut secara teoritik akan mengurangi pendapatan pajak. Tapi, formula empatif keberpihakan kepada kaum lemah justru hal itu mendorong masyarakat bukan hanya berterima kasih, tapi mendoakan secara khusus untuk sang pemimpin. 

Dan doa di antara mereka tidaklah tertutup kemungkinan diijabah Allah. Dan doanya telah antarkan Pemprov DKI Jakarta tetap meraih penerimaan pajak tertinggi dibanding provinsi-provinsi lain. Data pajak menunjukkan, Per Januari 2022, penerimaan pajak DKI Jakarta mencapai Rp 77,72 triliun atau meningkat secara signifikan (90,25%) dibanding periode yang sama (2021), yang mencatat Rp 40,85 triliun. Jika dirinci, kontribusi pajak dari sektor restoran mencapai Rp 76,25 trilyun dan pajak perdagangan internasional sebesar Rp 1,47 triliun. 

Sekali lagi, bukanlah tak mungkin, doa warga Jakarta yang berterima kasih atas kebijakan keberpihakannya dalam bentuk penggratisan PBB yang ber-NJOP di bawah Rp 2 miliar telah mengantarkan realisasi penerimaan pajak sektor lainnya yang cukup fatastik itu. Maka, tidaklah aneh ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan award khusus kepada Pmprov. DKI Jakarta, di antaranya Wajar Tanpa Persyaratan (WTP). Realisasi penerimaan pajak harus kita catat  sebagai realitas kemampuan menata-kelola sistem pemerintahannya yang berintegritas dan jujur, temasuk di antaranya kelola sektor pajak. Itulah jika kita refleksikan dengan kacamata agama cara Anies bertransaksi dengan Allah. Dia-lah sang Pemberi segalanya, termasuk capaian penerimaan pajak. Dan itu berpulang pada sikap dan perlakuan bagaimana memimpin.

Sebuah rasa kagum yang mendorong elemen masyarakat dari berbagai daerah lainnya menunggu manfaat nyata kehadiran sang pemimpin yang berkarakter amanah, nasionalis, integrity, empati dan smart (ANIES). Indonesia memang butuh pemimpin yang ANIES. Urgent. Untuk menyelamatkan negeri tercinta.

Penulis: Analis Center for Public Policy Studies (CPPS) Indonesia***

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.