Konstitusi Palsu: Jalan Menuju Perbudakan

Oleh: Yudhie Haryono

Proklamasi adalah pintu dan jalan kemerdekaan. Pancasila dan UUD45 asli adalah landasan, cita-cita sekaligus tujuannya. Tetapi, semua punya tekad yang sama dan sangat kuat: menghapuskan penjajahan dan perbudakan (di Indonesia dan dunia).

Setelah berjalan 50-an tahun, rumah besar Indonesia yang mengharu birukan dunia, semuanya diporak porandakan elite global lewat agenda dwi-tunggal: kudeta pemerintahan dan kudeta konstitusi. Pergantian rezim pemerintahan dan penggantian konstitusi sukses berjalan. Tetapi, konsolidasi rezim baru tak serta merta menghasilkan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi seperti yang diharapkan.

Dalam proses konsolidasi rezim baru bermazhab pasar bebas ini, kita mengalami limbo yang dahsyat. Yang lama sekarat, yang baru tak kunjung kuat. Tetuko: sing teko gak tuku dan sing tuku gak teko. Lalu, kita mengidap penyakit bawaan limbo: hiperrealitas. Ini adalah kondisi di mana “yang palsu” (simulasi dan representasi) dianggap lebih riil dari realitas. Ia dianggap lebih nyata dan lebih penting daripada realitas itu sendiri.

Lalu, perbedaan antara kenyataan dan kepalsuan menjadi kabur. Akhirnya, yang palsu dianggap sebagai realitas dan lebih nyata serta lebih dapat dipercaya daripada keadaan sesungguhnya. Contohnya dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti di media. Berita palsu, propaganda dan manipulasi informasi sering menciptakan realitas yang berbeda dari kenyataan.

Di tekhnologi. Peristiwa “virtual reality” dapat menciptakan pengalaman yang lebih nyata daripada realitas itu sendiri. Di konsumsi. Iklan dan branding dapat menciptakan citra yang lebih menarik dan lebih nyata daripada produk konsumsi yang asli. Di sosialitas. Kemiskinan dan perbudakan dianggap tidak ada karena diganti bahasanya menjadi individu kurang beruntung.

Tentu saja, dalam suasana hiperrealitas kita mendapati dampak buruk yang signifikan pada masyarakat, misalnya: “distrust society.” Kita merasakan ketidakpercayaan pada institusi, lembaga, kelompok dan individu bahkan negara. Kita juga mengalami ketergantungan secara berlebih pada teknologi sehingga mengurangi kemampuan sosialitas.

Dalam kekacauan dan ketidakstabilan keadaan serta hiperrealitas ini, rezim baru memang berhasil menghancurkan pilar ekonomi (Kemenkeu-BI-Bappenas), pilar moral (Kemenag) dan pilar etik (Kemendikbud) dengan membuat mereka sibuk KKN. Di tangan kelima lembaga itu lahirlah komunitas epistemik yang berfilosofi, “mari akur dalam kemunafikan agar miskin di tengah negeri kaya; tersesat di tempat terang, menipu dalam benderang; ngutang di waktu berkelimpahan; bersembunyi di tengah keramaian; tersenyum saat rakyat menderita serta menangis saat rakyat bahagia.”

Sekali lagi, itu semua merupakan dampak buruk dari kudeta pemerintahan dan konstitusi. Dua kudeta ini berhasil mengubah dasar negara, identitas negara dan tujuan bernegara; mengganti sistem bernegara yang telah ditetapkan; menghilangkan pokok pikiran pembukaan konstitusi yang merupakan landasan filosofis dan statsfundamental norm; mentradisikan KKN.

Diterapkannya konstitusi palsu membuat kita tercerabut dari filosofi bernegara dan membiarkan pasar bebas merajalela. Dalam pasar bebas yang merajalela ini, hilirnya adalah “berkecambahnya perbudakan modern.” Berubahlah konsep “the wealth of nations menjadi the wealth of individuals.” Yang kaya makin jaya, yang miskin makin paria. Ujungnya ketimpangan, menggunungnya utang negara dan multi krisis merajalela.

Tentu saja, tiga hal itu mempertegas perbudakan modern, ketidakberdaulatan dan kegelapan masa depan. Ketiganya menjengkelkan sebagai fiksi, sekaligus menjijikkan sebagai fakta. Terlebih, kondisi ini berjalan lewat kekuasaan dan kontrol. Kita tahu bahwa perbudakan modern menjadi cara penjajah untuk menunjukkan kekuasaan dan kontrol atas orang lain, negara lain, bangsa lain dan kelompok lain. Perbudakan ini berdampak signifikan pada kehidupan kita semua.

Di tingkat masyarakat terjadi kerusakan sosial, keterbelakangan ekonomi, kehancuran budaya, kehilangan jatidiri dan pelenyapan HAM serta deindustrialisasi. Atau bagaimana menurut kalian? Ayok berbagi pengetahuan dan sikap.

Penulis: Presidium Forum Negarawan

Leave A Reply

Your email address will not be published.