Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme

Kasus Aliran Dana Kelompok Jamaah Islamiyah

Oleh: Prof. Dr. M. Arief Amrullah, SH, M.Hum

Maraknya pemberitaan baru-baru ini di berbagai media massa seputar terungkapnya praktik pengumpulan dana yang dilakukan oleh kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) telah mencengangkan masyarakat, betapa tidak. Karena, mereka para penyumbang dana mengira bahwa kotak-kotak yang bertuliskan kotak amal yang tersebar di berbagai tempat itu benar-benar digunakan untuk tujuan-tujuan yang baik, bukan dibelokan untuk mendanai kelompok terorisme.

Sebagaimana ditulis dalam media MerahPutih.com, 22 Agustus 2021, bahwa Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri membongkar aliran pengumpulan dana dari kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) sejak 2014. “Total aliran dana yang berhasil dikumpulkan melalui bantuan yayasan dan masyarakat sekitar Rp 124 miliar lebih,” di antara para penyumbang ada keterlibatan badan hukum (legal person), yaitu Syam Organizer salah satu yayasan yang memberikan dana.

Total dana Rp 124 miliar tersebut, sebanyak Rp 1,2 miliar telah disalurkan ke kelompok Jamaah Islamiyah (JI). Para donator lainnya, adalah  perusahaan logistik atas nama PT SM sebesar Rp 370 juta. Syam Organizer Rp 1,9 miliar lebih. Perusahaan logistik PT SJA senilai Rp 67 juta. Aliran dana lainnya dari dua rekening berbeda sebesar Rp 1,2 miliar, yaitu FS dan R. Selain itu, ada juga aliran dana yang bersumber dari BM ABA sebesar Rp104 miliar lebih serta dana dari sumber lainnya.

Kehadiran badan hukum atau korporasi dalam menyokong pendanaan buat kelancaran operasional kelompok teroris JI, patut mendapat perhatian. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan telah mewanti-wanti akan potensi korporasi dalam pendanaan kelompok terorisme. Aliran dana yang telah diungkap oleh Kadiv Humas Polri, Irjen Argo Yuwono dalam siaran persnya kepada wartawan pada hari Sabtu 21 Agustus 2021 menunjukkan bukti keterlibatan korporasi di jaringan tindak pidana pendanaan terorisme.

Indonesia dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana pendanaan terorisme telah berkomitmen dengan diratifikasinya International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999) dengan  Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999).

Karena itu, Indonesia berkewajiban membuat atau menyelaraskan peraturan perundang-undangan terkait dengan pendanaan terorisme sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam konvensi tersebut, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 dikemukakan, bahwa “Tindak pidana terorisme merupakan kejahatan internasional yang membahayakan keamanan dan perdamaian dunia serta merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup.

Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban, ketakutan masyarakat secara luas, dan kerugian harta benda sehingga berdampak luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional”.

Lebih lanjut,  upaya pemberantasan tindak pidana terorisme selama ini dilakukan secara konvensional, yakni dengan menghukum para pelaku tindak pidana terorisme. Untuk dapat mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme secara maksimal, perlu diikuti upaya lain dengan menggunakan sistem dan mekanisme penelusuran aliran dana karena tindak pidana terorisme tidak mungkin dapat dilakukan tanpa didukung oleh tersedianya dana untuk kegiatan terorisme tersebut.

Pendanaan terorisme bersifat lintas negara sehingga upaya pencegahan dan pemberantasan dilakukan dengan melibatkan Penyedia Jasa Keuangan, aparat penegak hukum, dan kerja sama internasional untuk mendeteksi adanya suatu aliran dana yang digunakan atau diduga digunakan untuk pendanaan kegiatan terorisme.

Mengingat dalam kasus aliran dana terhadap kelompok teroris JI telah melibatkan korporasi, maka pengenalan pengguna manfaat dari korporasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2018 (Perpres) tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme menjadi sangat relevan.

Semangat hukum yang mendasari dibuatnya Perpres  No. 13 Tahun 2018 tersebut, tidak lepas dari adanya perkembangan tindak pidana yang memanfaatkan korporasi sebagai sarana untuk melakukanTindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Keluarnya Perpres  No. 13 Tahun 2018 adalah dalam rangka adaftasi dengan konsep Bebeficial Owner (BO) yang diatur dalam  rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) mengenai Transparansi dan pemilik manfaat korporasi. Untuk keperluan itu, negara-negara harus mengambil langkah tindakan pencegahan atas penyalahgunaan korporasi untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan teroris.

Leave A Reply

Your email address will not be published.