Perppu Cipta Kerja Dinilai Penuh Intrik

JAKARTA, Harnasnews – Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti Undang-Undang Cipta Kerja.

Perppu itu diterbitkan untuk menggantikan Undang-undang Cipta Kerja yang oleh Mahkamah Konstitusi (MK) diperintahkan untuk diperbaiki selama kurun waktu dua tahun.

Sebab Perppu Cipta Kerja ini menyangkut kepentingan yang lebih luas bagi banyak sektor diantaranya : Kegiatan ekonomi baik pekerja atau buruh dan pengusaha

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Republik Indonesia Yasonna Laoly menilai bahwa kritikan terhadap terbitnya suatu kebijakan, termasuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, merupakan hal yang biasa.

Menanggapi terbitnya Perppu Ciptaker yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi, Koordiv Demokrasi DPC POSNU Kota Bekasi Badri Tamami berpendapat, bahwa kepala negara memiliki hak untuk menetapkan Perppu dalam hal kegentingan yang memaksa, hal itu diatur dalam Pasal 22 UUD 1945.

Namun demikian, kata Badri, Perppu tersebut harus tetap berdasarkan izin dari DPR. DPR dapat menyetujui atau menolak Perpu jika berpedoman pada Putusan MK Putusan Nomor 198/PUU-VII/2009.

“Dalam kaitan ini, kami melihat bahwa Presiden tidak dilibatkannya DPR dalam pembentukan Perppu Ciptaker. Sehingga Perppu hanya menjadi parameter subjektif dari pemerintah saat ini,” kata Badri dalam keterangannya yang diterima wartawan, Jumat (6/1/2023).

Adapun dalam Perppu Cipta Kerja ini, Badri menilai pemerintah mengabaikan asas-asas demokrasi yang ada di negara ini.

Menurutnya, pemerintah semestinya terlebih dahulu melakukan pertimbangan dan kajian secara detail dan terperinci dengan tujuan yang semestinya mementingkan suara-suara rakyat.

Atas terbitnya Perppu tersebut, pemerintah dinilai telah mengabaikan keputusan MK. Di mana yang sebelumnya telah berpendapat menghormati dan akan mengikuti keputusan MK soal revisi Undang Undang Cipta Kerja.
.
“Justru sebaliknya, pemerintah malah penerbitan Perpu Ciptaker bertentangan dengan perintah MK untuk memperbaiki proses pembentukan UU Cipta Kerja berdasarkan asas partisipasi yang bermakna,” tandas Badri.

Dengan adanya parameter objektif yang ditafsirkan MK dan harus menjadi pedoman bagi DPR untuk menyetujui atau menolaknya. Maka penetapan Perppu bukan lagi tindakan otoriter karena terdapat pembatasan yang ditetapkan oleh Konstitusi, lewat wakil rakyat.

Maka dalam hal ini DPR dan pemerintah harus menerima masukan-masukan dari lapisan masyarakat, untuk menyerap saran-saran yang mereka resahkan pada kebijakan UU Cipta Kerja.

“Dengan demikian, akan melahirkan kebijakan yang sesuai dirasakan dari lapisan masyarakat, sebab negara ini adalah negara demokrasi. Maka harus sesuai juga apa yang memang mesti dilakukan dalam mendorong demokrasi yang maju dan berdaulat,” pungkasnya.**

Leave A Reply

Your email address will not be published.