
Menuai Ekonomi Rentan
Resensor: Yudhie Haryono, Teoritikus Nusantara Studies
Judul buku: Drama Ekonomi Indonesia
Penulis: Revrisond Baswir
Harga: Rp. 40.000
Penerbit: Kreasi Wacana
Kertas: HVS Book Paper
Berat : 0.45 kg
Jumlah halaman: 354
Jenis sampul: Soft Cover
ISBN: 97960293739
Ukuran: 14×21 cm
Revrisond adalah ekonom kiri terbaik yang kita punya. Pikiran, ucapan, tulisan dan karya-karyanya jadi bukti. Saat kita hidup di zaman Ordeba, ia sudah membuat buku kritis soal potret ekopolnya. Dalam buku itu, ia menulis bahwa, “ada tiga fenomena ekonomi yang menarik pada era orde baru: kesenjangan, konglomerasi dan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).” Ketiganya jadi agama, madzab dan gaya hidup.
Lalu apa kaitan antara kesenjangan ekonomi dengan konglomerasi? Apakah ada keterkaitan antara konglomerasi dengan korupsi, kolusi dan nepotisme? Mengapa kapitalisme yang muncul di Indonesia adalah kapitalisme semu atau kapitalisme perkoncoan? Bagaimana praktik pemerintahan pusat menjarah daerah selama ini? Ini berbagai pertanyaan dan pernyataan yang terus muncul.
Hingga kita tahu, pada sejarah ekopol dan kepemerintahan Indonesia, kapitalisme dan neoliberalisme adalah benang merah yang tak pernah putus. Ia memperantarai keterpisahan dan kejauhan. Ialah jembatan dan persambungan. Padanya, negara ini menahbiskan diri: hingga remuk seremuk-remuknya. Warga paria dan wajahnya suram nestapa.
Ekonomi pancasila jadi palsu. Ekopol konstitusi jadi ilusi. So, seperti apakah sebenarnya bangunan ekonomi Indonesia yang telah diletakkan oleh founding father negara ini? Adakah rasa ekonomi Indonesia itu adalah ekonomi kerakyatan? Bagaimana model, modul dan modal ekonomi kerakyatan itu? Pertanyaan dan gugatan inilah yang ingin dijawab penulis dalam bukunya.
Ekonomi politik kita memang pada akhirnya liberal, bahkan ultra liberal. Di beberapa sisi memang menghasilkan pertumbuhan ekonomi lumayan dan meningkatkan pendapatan sebagian kecil kelompok masyarakat, tumbuh konglomerasi dan oligarki. Tetapi jelas: pembagian antar kelompok sosial tidak merata. Pendapat rata-rata semua kelompok sosial meningkat, tetapi ketimpangan meningkat tajam. Disparitasnya luar biasa. Pemerataan jadi mimpi dan keadilan sosial jadi gelap.
Hampir seluruh sasaran ekonomi-politik ditentukan untuk dicapai tanpa adanya perhitungan yang matang mengenai biaya ekonominya. Karena sasaran politik itu memiliki bobot emosional yang besar di benak orang sehingga cenderung menumpulkan semangat untuk melakukan cost-benefit objektif. Kenyataannya memang tidak mudah menghitung biaya ekonomi yang tepat terkait suatu sasaran politik sehingga sering buntu dan bahkan bangkrut.
Di berbagai kelas dan seminar terus muncul pertanyaan, “bagaimana bisa Indonesia dengan segala sumber daya alam dan manusianya yang melimpah mengalami arah pertumbuhan yang tak menentu dan timpang? Mengapa pertumbuhan ekonominya menunjukkan tingkat ketidaksinambungan yang sangat tinggi?” Tumbuh hanya untuk sebagian sangat kecil penduduknya.
Sudah 80 tahun bangsa Indonesia merdeka dari kolonialisme purba, namun hingga saat ini cita-cita mewujudkan negeri adil makmur makin buram. Kelembagaan dan agensinya tumpul, asing dan boring. Perlindungan segenap rakyat nihil; pemajuan kesejahteraan bagi seluruh penghuni Indonesia mandul; peningkatan kecerdasan defisit; pentradisian ketertiban ambyar.
Semua karena sistem ekonomi kapitalistiklah yang digunakan, diimani dan dikurikulumkan untuk menggerakkan roda ekonomi kita. Terciptalah kesenjangan, kemiskinan, kerentanan, keterbelahan dan kesakitan yang semakin besar karena sistem ekonomi kapitalisme pada dasarnya mentradisikan ruang kebebasan lewat mekanisme pasar, kompetisi dan menghalalkan segala cara demi kemenangan yang kuat dan serakah. Siapa yang kuat maka dialah pemenang. Maka, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Di sini, ekonomi-politik Pancasila yang digariskan konstitusi dan ditajamkan oleh para pendiri bangsa, ternyata tidak diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa. Ia dipunggungi, diingkari dan dikhianati. Kini bahkan jadi “anak haram yang tak dikenali.”
Ia diganti dengan sistem kapitalisme, sistem pasar, sistem kerakusan. Seperti sejarah pergantian konstitusi asli 1945 dengan konstitusi palsu 2002 sehingga menjadi pintu gerbang bagi asing untuk menguasai aset-aset negara yang strategis.
Padahal itu bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi pasal 33 UUD 1945. Akhirnya kita menjadi “budaknya para budak” di negeri sendiri karena pengkhianatan pemimpin yang tunduk pada kekuasaan kapitalisme global. Sialnya, kolonialisme baru tersebut hadir dengan jenius sehingga kita terbuai dan terlelap tak pandang waktu. Mabuk jiwa raga.
Inilah drama ekonomi yang sedang terjadi di kita sehingga menciptakan tradisi monopoli, oligopoli dan oligarki kehidupan. Akhirnya, terjadilah ekonomi politik pura-pura, omon-omon dan rapuh rentan. Persaingan usaha menjadi tidak sehat dan tentu tidak seimbang. Ketidakstabilan dalam bidang perekonomian sering berulang dan pusaran krisis menjadi keseharian.
Dus, menghidupi neoliberalisme yang menekankan perdagangan bebas, deregulasi, globalisasi dan pengurangan pengeluaran pemerintah untuk jaring pengaman sosial adalah “mematikan dan menguburkan pikiran para pendiri republik”; mengkhianati konstitusi asli; lupa kekejaman penjajahan serta kejahiliyahan yang kekal abadi. Sesuatu yang harus “dihapuskan” sejak dari pikiran. **