DPD RI Jelmaan Utusan Daerah, Idealnya Menjadi Saluran Capres Putra-Putri Terbaik dari Non-Partai

Politik

Mantan Ketua Umum PSSI tersebut mengatakan, hal itu menunjukkan bahwa di masyarakat terjadi kerisauan dan kebuntuan saluran dalam konteks pemenuhan hak setiap warga negara untuk dipilih dan memilih.

Penjabaran tidak jauh berbeda disampaikan narasumber FGD, Dr H Mohammad Effendy SH MH. Menurutnya, seharusnya calon perseorangan bisa maju menjadi capres.

“Syarat untuk calon perseorangan untuk tingkat daerah, bisa dengan syarat dukungan awal. Dukungan awal menjabarkan adanya simpatisan publik. Dan ini sebaran untuk mengetahui popularitas calon. Syarat tetap 20% seperti dalam undang-undang, tapi dilakukan dari tingkat daerah untuk menjaga kestabilan,” katanya.

Narasumber lainnya, Dr H Ichsan Anwary yang juga dosen Fakultas Hukum, berharap undang-undang membuka atau memberikan ruang konstitusionalitas bagi calon alternatif untuk capres dan cawapres perseorangan.

“Ruang itu harus ada meski dengan persyaratan yang sangat ketat dan rasional, sebagai mana halnya diakomodirnya calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah,” paparnya.

Sedangkan narasumber terakhir, Dr Jamaludin M.Si, yang merupakan dosen FISIP, menilai dengan UU Pemilu yang ada saat ini mustahil calon perseorangan bisa muncul.

“Terlihat jika ada kelompok-kelompok yang ingin Presidential Threshold dipertahankan. Mereka adalah partai-partai besar yang berkuasa. Lalu mereka bilang PT akan memperkuat sistem presidensial di Indonesia, atau untuk menjaga kesatuan NKRI. Padahal secara teori, tidak begitu,” jelasnya.

Sementara itu Rektor ULM, Prof Dr Sutarto Hadi, menyambut baik kehadiran Ketua DPD RI dan rombongan di kampusnya.

“Ini kunjungan pertama Ketua DPD ke ULM yang merupakan universitas perjuangan di Kalsel. Mungkin bisa disampaikan ke para eksekutif, persoalan serius yang dihadapi selama beberapa tahun terakhir adalah tidak adanya penerimaan dosen baru. Selama itu, banyak dosen, guru besar, atau profesor yang pensiun. Sehingga saya menduga terjadi penurunan kualitas pendidikan,” katanya.

Hal ini diperparah dengan peraturan pemerintah yang melarang perguruan tinggi mengangkat dosen kontrak. Padahal, rasio perbandingan antara dosen dan mahasiswa semangat tinggi.

“Kalau mendidik dosen-dosen muda, perlu waktu panjang, mungkin 10 sampai 20 tahun untuk mereka bisa sampai menjadi doktor,” katanya.(*)

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.